Kamis, 14 April 2016

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S YANG MENGALAMI MASTITIS DI RUANG NIFAS RSUD Dr.R.SOEDARSONO – PASURUAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
          Mastitis adalah infeksi pada jaringan payudara yang menyebabkan nyeri payudara, pembengkakan, kehangatan dan kemerahan dari payudara. Mungkin juga mengalami demam dan menggigil. Mastitis adalah suatu kondisi yang menyebabkan jaringan payudara wanita untuk menjadi menyakitkan dan meradang. Biasanya dapat diobati dengan mudah, tetapi penting untuk menemui dokter jika Anda berpikir Anda memiliki penyakit ini. Mastitis paling sering terjadi pada wanita menyusui. Sampai dengan 1 dari setiap 10 wanita yang menyusui terkena mastitis, biasanya dalam tiga bulan pertama setelah melahirkan. Mastitis berhubungan dengan menyusui kadang-kadang disebut laktasi mastitis atau "mastitis puerperalis" oleh dokter. Kadang-kadang mastitis menyebabkan seorang ibu untuk menyapih bayinya sebelum ia bermaksud untuk melakukannya. Tapi Anda dapat terus menyusui saat Anda mengalami mastitis. Namun, perempuan yang tidak menyusui juga dapat mengembangkan mastitis. Wanita non-menyusui sering memiliki jenis yang disebut "mastitis periductal".
          Studi terbaru menunjukkan kasus mastitis meningkat hingga 12 – 35 % pada ibu yang puting susunya pecah-pecah dan tidak diobati dengan antibiotik. Namun bila minum obat antibiotik pada saat puting susunya bermasalah kemungkinan untuk terkena mastitis hanya sekitar 5 % saja. Menurut penelitian Jane A. Morton, MD tahun 2002,bahwa kasus mastitis terjadi pada tahun pertama sesuai persalinan
yakni sekitar 17,4 % dan sekitar 41 %. Kasus mastitis justru terjadi pada bulan pertama setelah melahirkan (Jane A. Morton MD, 2002).
Penelitian terbaru menyatakan bahwa mastitis dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui menyusui. Mastitis dan abses payudara dapat terjadi pada semua populasi, dengan tanpa kebiasaan menyusui, tetapi biasanya dibawah 10 % sebagian besar laporan menunjukkan bahwa 75 % sampai 95 % kasus terjadi dalam 12 minggu pertama. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD dr.R.Soedarsono tahun 2009, diketahui jumlah ibu nifas tahun 2009-2010 yaitu ada 8725 orang.
            Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1%.
  Dengan semakin berkembangnya ilmu kesehatan, ada beberapa penatalaksaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi Mastitis, Tata laksana mastitis dimulai dengan memperbaiki teknik menyusui ibu. Aliran ASI yang baik merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis karena stasis ASI merupakan masalah yang biasanya mengawali terjadinya mastitis. Ibu dianjurkan agar lebih sering menyusui dimulai dari payudara yang bermasalah. Tetapi bila ibu merasa sangat nyeri, ibu dapat mulai menyusui dari sisi payudara yang sehat, kemudian sesegera mungkin dipindahkan ke payudara bermasalah, bila sebagian ASI telah menetes (let down) dan nyeri sudah berkurang. Posisikan bayi pada payudara sedemikian rupa sehingga dagu atau ujung hidung berada pada tempat yang mengalami sumbatan. Hal ini akan membantu mengalirkan ASI dari daerah tersebut. Dari uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang kasus Thypus Abdominalis dan bagaimana Asuhan Keperawatan yang diberikan pada penderita Thypus Abdominalis.

1.2              Batasan Masalah
Asuhan keperawatan pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.

1.3              Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana asuhan keperawatan pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan?
1.4              Tujuan Penulisan
1.4.1        Tujuan Umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.
1.4.2        Tujuan Khusus
1.                  Melakukan pengkajian pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.
2.                  Merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. M yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.
3.                  Menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. M yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.
4.                  Melakukan tindakan keperawatan pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.
5.                  Mengevaluasi tindakan keperawatan pada Ny. S yang mengalami  Mastitis di Ruang Nifas RSUD Dr.R.Soedarsono – Pasuruan.

1.5              Manfaat Penulisan
1.5.1        Praktis
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan demi membantu petugas rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang terus diperbarui serta dijadikan bahan diskusi antar perawat di Ruang Nifas RSUD Dr. R. Soedarsono – Pasuruan.
Sebagai bahan rujukan atau pedoman bagi klien dan keluarga dalam menangani masalah klien secara mandiri setelah kepulangannya dari rumah sakit.
1.5.2        Teoritis
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat menjadi bahan kepustakaan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kesehatan serta teori – teori kesehatan khususnya dalam upaya penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan  Mastitis.
















BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1     Pengertian

       Mastitis adalah suatu kondisi yang disebut ketika jaringan di payudara Anda menjadi menyakitkan dan meradang. (Hal ini biasanya mempengaruhi hanya satu payudara pada setiap kejadian.) Daerah yang terdampak mastitis di payudara mungkin berwarna merah, sakit, perih ketika disentuh, atau biasanya terasa hangat. Pembengkakan bisa jadi atau mungkin juga tidak disebabkan oleh infeksi. Tanda-tanda infeksi termasuk menggigil, demam 101 derajat Fahrenheit (38,3 derajat celcius) atau lebih tinggi, dan rasa kelelahan.
Menurut Mayoclinic, Mastitis adalah infeksi pada jaringan payudara yang menyebabkan nyeri payudara, pembengkakan, kehangatan dan kemerahan dari payudara. Jika Anda memiliki mastitis, Anda juga mungkin mengalami demam dan menggigil. Mastitis paling sering menyerang wanita yang sedang menyusui (mastitis laktasi), meskipun kadang-kadang kondisi ini bisa terjadi pada wanita yang tidak menyusui.

2.2     Etiologi

       Dua  penyebab  utama  mastitis  adalah  Stasis  ASI  dan  infeksi. Stasis  ASI biasanya merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau berkembang    menuju infeksi. Gunther pada tahun 1958, menyimpulkan  dari pengamatan  klinis  bahwa  mastitis diakibatkan stagnasi ASI di dalam payudara dan bahwa
pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah keadaan   tersebut. Ia mengatakan bahwa infeksi bila terjadi bukan primer, tetapi diakibatkan oleh stagnasi ASI sebagai media pertumbuhan bakteri (WHO, 2003).
       Penyebab radang payudara bagi wanita menyusui ialah karena adanya penumpukan susu. Penumpukan susu ini dikenal dengan susu stasis. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penumpukan susu atau susu stasis. Hal tersebut diantaranya adalah bayi tidak benar melekat payudara selama menyusui dan bayi tidak sepenuhnya menyedot susu dari payudara. Selain itu penumpukan susu juga dapat disebabkan oleh adanya bakteri. ASI yang masih segar biasanya tidak menyediakan lingkungan yang baik di mana bakteri dapat berkembang biak . Dan  susu stasis dapat menyebabkan susu stagnan dan menjadi terinfeksi. Hal ini dikenal sebagai mastitis infektif.
       Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak  ditemukan pada kulit  normal (staphylococos  aureus). Bakteri sering  sekali  berasal  dari  mulut bayi dan masuk kedalam  saluran air susu melalui retakan atau robekan dari kulit (biasanya  pada  puting susu) perubahan hormonal didalam tubuh wanita   menyebabkan penyumbatan  saluran air susu oleh sel-sel mati. Saluran yang terlambat  menyebabkan  payudara lebih mudah mengalami infeksi (Anonim, 2007).
       Sementara itu, pada wanita yang tidak menyusui, radang payudara atau Mastitis yang terjadi bisa disebabkan karena adanya infeksi yang akibat kerusakan pada puting. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari bakteri masuk ke saluran susu melalui retak atau sakit puting.

2.3     Pathofisiologi

       Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi.
       Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. Kadangkadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1%.
Faktor risiko terjadinya mastitis antara lain:
1.      Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya.
2.      Puting lecet. Puting lecet menyebabkan timbulnya rasa nyeri yang membuat kebanyakan ibu menghindari pengosongan payudara secara sempurna.
3.      Frekuensi menyusui yang jarang atau waktu menyusui yang pendek. Biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak memberikan bayinya minum sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan tergesa-gesa.
4.      Pengosongan payudara yang tidak sempurna
5.      Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik. Bayi yang hanya mengisap puting (tidak termasuk areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi atau bibir sehingga aliran ASI tidak sempurna.
6.      Ibu atau bayi sakit.
7.      Frenulum pendek.
8.      Produksi ASI yang terlalu banyak.
9.      Berhenti menyusu secara cepat/ mendadak, misalnya saat bepergian.
10.  Penekanan payudara misalnya oleh bra yang terlalu ketat atau sabuk pengaman pada mobil.
11.  Sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh gumpalan ASI, jamur,serpihan kulit, dan lain-lain.
12.  Penggunaan krim pada puting.
13.  Ibu stres atau kelelahan.
14.  Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah.

2.4    Gambaran Klinis
Mastitis biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut:
a.       Permukaan kulit payudara seperti meregang
b.      Demam dengan suhu lebih dari 38,5oC, terkadang hingga menggigil.
c.       Nyeri atau ngilu seluruh tubuh
d.      Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, terasa keras saat diraba dan nyeri.
e.       Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.
f.       Terjadi peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu karena ASI terasa asin.
Berdasarkan respon radang yang terjadi :
1.      Bendungan
Terjadi karena payudara terisi sangat penuh dengan ASI dan cairan jaringan.Sehingga aliran vena dan limfatik tersumbat,aliran susu terhambat,terjadi tekanan pada saluran ASI dan alveoli meningkat.Sehingga menyebabkan payudara bengkak dan edematus
2.      Sumbatan saluran payudara
Terjadi akibat obsruksi benda padat,tetap dapat pula terjadi akibat pengeluaran ASI yang tidak efisien dari bagian payudara
3.      Mastitis Noninfeksiosa
Terjadi karena peningkatan interleukin,sehingga terjadi respon inflamasi pada jalur para seluler yang berhubungan erat dengan sel pensekresi ASI di alveoli payudara
4.      Faktor Imun dalam ASI
Terjadi akibat rendahnya sejumlah factor protektif dalam ASI,sehingga pertahanan yang efektif berkurang


5.      Mastitis Infeksiosa
Terjadi bila stasis ASI tidak sembuh,dan proteksi oleh factor imun dalam ASI dan oleh respon inflamasi kalah.
6.      Mastitis Subklinis
Diagnosisnya dari adanya peningkatan rasio natrium-kalium dalam ASI,dan peningkatan konsentrasi interleukin.Peningkatan tersebut dapat menunjukkan bahwa sedang terjadi respon inflamasi,walaupun tidak ada tanda klinis
7.      Abses Payudara
Payudara yang laktasi,seperti jaringan terinfeksi lain,melokalisasi infeksi dengan membentuk sawar jarinagn granulasi yang mengelilinginya.Jaringan ini akan menjadi kapsul abses,yang terisi dengan pus.Terdapat benjolan yang membengkak yang sangat nyeri dengan kemerahan,panas,edema kulit di atasnya.Bila tidak segara ditangani benjolan akan akan menjadi berfluktuasi dengan perubahan warna kulit dan nekrosis.

2.5    Pengelolaan Kasus
Komplikasi
       Penanganan mastitis karena  terjadinya  infeksi  pada  payudara tidak sempurna, maka infeksi akan makin berat sehingga terjadi abses dengan  tanda  payudara berwarna  merah  mengkilat  dari sebelumnya saat  baru  terjadi  radang,  ibu merasa lebih sakit, benjolan  lebih  lunak karena berisi nanah (Suherni, 2009).
       Menurut Retna (2008) benjolan pada payudara nyeri tekan ada atau tidak, ada kelainan bentuk ada atau tidak, bengkak ada atau tidak terdapat  nyeri  tekan. Pada kasus  ibu  nifas  dengan mastitis terjadi perubahan  berupa  pembesaran  payudara atau  bengkak, memerah,  dan tampak jelas gambaran pembuluh darah di permukaan kulit bertambah dan terdapat luka atau lecet pada puting susu.
a.       Penghentian menyusui dini
            Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian menyusui secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu juga khawatir kalau obat yang mereka konsumsi tidak aman untuk bayi mereka. Oleh karena itu penatalaksanaan yang efektif, informasi yang jelas dan dukungan tenaga kesehatan dan keluarga sangat diperlukan saat ini.
b.      Abses
            Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras , merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

c.       Mastitis berulang/kronis
            Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui
d.      Infeksi jamur
            Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Di antara waktu menyusu permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Ibu dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.
Penatalaksanaan mastitis
Menurut   Varney   (2007),   penatalaksanaan mastitis adalah sebagai berikut:
1)      Seringnya    menyusui    dan    mengosongkan    payudara    untuk mencegah statis.
2)      Memakai   bra   dengan   penyangga   tetapi   tidak   terlalu   sempit, jangan menggunakan bra dengan kawat di bawahnya.
3)      Perhatian   yang   cermat   untuk   mencuci   tangan   dan   merawat payudara.
4)      Pengompresan dengan air hangat pada area yang efektif pada saat menyusui untuk memfasilitasi aliran susu.
5)      Meningkatkan pemasukan cairan
6)      Membantu  kebutuhan  prioritas  ibu  untuk  mengurangi  stress  dan kelelahan dalam kehidupannya.
7)      Antibiotik, penisilin jenis penicillinase resisten atau cephalosporin.  Erythromicin  dapat  digunakan  jika  wanita  alergi terhadap penisilin.
8)      Memberi  dukungan pada ibu.
Pencegahan Mastitis
Menurut Bahiyatun (2008), pencegahan mastitis meliputi:
1)      Perawatan payudara pascanatal secara teratur untuk menghindari terjadinya statis aliran Air Susu Ibu (ASI).
2)      Posisi menyusui yang diubah-ubah.
3)      Menggunakan   bra/   BH   yang   menyangga   dan   membuka   bra tersebut ketika terlalu menekan payudara.
4)      Susukan dengan adekuat.
Pemeriksaan penunjang
       Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:
a.       pengobatan dengan antibiotik tidak -- memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari
b.      terjadi mastitis berulang
c.       mastitis terjadi di rumah sakit
d.      penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

       Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas bakteri.
Penggunaan obat-obatan
       Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi obat, ibu dengan mastitis dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi.
1.      Analgesik
            Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.


2.      Antibiotik
            Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari 24 jam, maka perawatan konservatif (mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah cukup membantu. Jika tidak terlihat perbaikan gejala dalam 12 - 24 jam atau jika ibu tampak sakit berat, antibiotik harus segera diberikan. Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah dikloksasilin atau flukloksasilin 500 mg setiap 6 jam secara oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang lebih singkat dalam darah dan lebih banyak efek sampingnya ke hati dibandingkan flukloksasilin. Pemberian per oral lebih dianjurkan karena pemberian secara intravena sering menyebabkan peradangan pembuluh darah. Sefaleksin biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih dianjurkan klindamisin.
            Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14 hari. Biasanya ibu menghentikan antibiotik sebelum waktunya karena merasa telah membaik. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi perlu pula diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup lama dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur pada payudara dan vagina.
            Pada penelitian yang dilakukan Jahanfar diperlihatkan bahwa pemberian antibiotik disertai dengan pengosongan payudara pada mastitis mempercepat penyembuhan bila dibandingkan dengan pengosongan payudara saja. Sedangkan penelitian Jimenez dkk. memperlihatkan bahwa pemberian Lactobacillus salivarius dan Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan kondisi klinik pada kasus mastitis yang sementara mendapat antibiotik.
2.6        Asuhan Keperawatan Teoritis
1.      PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
Nama Klien     :  Ny. S                       Nama Suami                : Tn. N
Umur               : 24 tahun                   Umur                           : 27 tahun
Kebangsaan     : Indonesia                 Kebangsaan                 : Indonesia
Agama             : Islam                        Agama                         : Islam
Pendidikan      : SMK                         Pendidikan                  : SMK
Pekerjaan         : IRT                          Pendidikan                  : Karyawan
Alamat Kantor: Tidak ada                  Alamat Kantor            : Mampang
Alamat Rumah: Jln. Duren Tiga no.20 Jakarta Selatan
B. ANAMNESA
Pada tanggal: 15 Desember 2010                                                       oleh: Bd. Julia
1.         Keluhan klien                  :  Demam, nyeri dan bengkak pada payudara.          
2.         Riwayat persalinan & kehamilan:
a.       Jenis Persalinan : Spontan              Indikasi : Tidak ada      
            Tanggal: 3 Desember 2010             Pukul: 10.30 WIB
b.      Jenis Kelamin         : Laki-laki                  BB : 2900 gr               PB : 50 cm
Keadaan Anak        : Sehat
c.       Proses Persalinan
Ketuban      : Pecah Spontan                             Warna              : Putih Jernih
Kala I          : 6 jam 15 menit
Kala II        : -jam 10 menit
Kala III       : -jam 15 menit
Kala IV       : Perineum       : Tidak Rupture           Jahitan         : Tidak Ada
Anasthesi yang digunakan               : Tidak Ada
d.      Jumlah Perdarahan
Kala I          : 50cc
Kala II        : 125 cc
Kala III       : 100cc
Kala IV       : 75 cc
Total           : 350 cc
e.       Penyulit & Komplikasi
Hipertensi                           : Tidak ada
Kejang                                : Tidak ada
Hipertensi                           : Tidak ada
Lain-lain                             : Tidak ada
f.       Tindakan/ Pengobatan pada masa persalinan         : Oksitosin
g.      Buang Air Kecil                 : Spontan berkemih
h.      Buang Air Besar                 : Belum
C. PEMERIKSAAN
1. Keadaan Umum                : Baik
2. Keadaan Emosional           : Stabil
3. Tanda-tanda vital            
TD          : 110/70 mmHg                       Nadi    : 84x/ menit                                       
Suhu       : 37,50C                                  RR       : 20x/menit
4.   Payudara
Pembesaran                      : Tampak membesar dan simetris
Pengeluaran                     : Kolostrum
5.   Uterus
TFU                       : 2 jari di bawah pusat             Kontraksi Uterus         : Baik
Konsistensi Uterus: Kenyal                                   Posisi Uterus               : Baik
6.   Pengeluaran Lokhia
Warna                       : Rubra                                    Jumlah             : + 2 softex
Bau                           : Amis                                      Konsistensi      : Cair
7.   Perineum               : Tidak ada rupture
8.   Kandung Kemih   : Kosong, sudah spontan berkemih
9.   Ekstremitas           :
Oedem               : -/-                   Refleks            : +/+               
Kemerahan         : Tidak Ada
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah                         : HB:   11 gr%
Leukosit                     : Tidak diperiksa
Urine                          : Tidak diperiksa
Lain-lain                    : Tidak ada
I. PENGKAJIAN
TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi uterus baik, lokhia lubra, jumlah + 2 softex, mammae agak keras, membesar dan bengkak, ada kemerahan, kolostrum (+).
Klien mengatakan demam, nyeri dan bengkak pada payudara,
II. IDENTIFIKASI, DIAGNOSA, MASALAH DAN KEBUTUHAN
Diagnosa         : Infeksi mamme
Dasar               : Mammae bengkak da nada kemerahan.
Masalah           : Demam, nyeri dan bengkak pada payudara.
Dasar               : Klien mengatakan demam, nyeri dan bengkak pada payudaranya.
Kebutuhan       : Penyuluhan tentang perawatan payudara.
Dasar               : Nyeri dan bengkak pada payudara.
III. IDENTIFIKASI DIAGNOSA DAN MASALAH POTENSIAL
Tidak ada
IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN TINDAKAN SEGERA
Tidak ada
V. PERENCANAAN
1.      Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu.
2.      Beri penyuluhan tentang perawatan payudara.
3.      Ajarkan ibu untuk merawat payudara.
4.      Anjurkan ibu untuk makan-makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup.
5.      Beri therapi sesuai dengan kebutuhan ibu.
6.      Anjurkan melakukan kunjungan ulang segera jika ada keluhan.
VI. PELAKSANAAN
1.      Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu bahwa, ada infeksi pada payudara,
TD            : 110/70 mmHg                       Nadi    : 84x/ menit
2.      Memberi penyuluhan tentang perawatan payudara.
a.       Usahakan payudara tetap kering sehabis menyusui,
b.      Biarkan bayi menyusui dengan posisi yang benar,
c.       Jagalah kebersihan diri.
d.      Mengenakan bra yang tidak terlalu ketat dan sesuai dengan ukuran payudara.
3.      Mengajarkan ibu untuk merawat payudara.
a.       mengompres payudara dengan kain basah yang hangat selama 5 menit.
b.      memassagekan payudaranya.
c.       menganjurkan ibu untuk mengeluarkan ASI dari bagian depan payudara sehingga putting susu menjadi lunak.
4.      Menganjurkan ibu untuk banyak makan-makan yang bergizi dan istirahat yang cukup.
5.      Beri Paracetamol 3x1/hari selama 10hari, Eritromisin 3x1/hari selama 10hari.
6.      Menganjurkan kunjungan ulang segera jika ada keluhan.
          
VII. EVALUASI
Ibu mengatakan mengerti dengan penyuluhan yang di berikan, dan akan melakukan perawatan pada payudara yang telah di anjurkan dan melakukan kunjungan ulang jika ada keluhan.

2.7  Hasil Penelusuran Jurnal Ilmiah
       Mastitis  adalah  peradangan  pada  jaringan internal  ambing  atau  kelenjar mammae oleh mikroba,  zat  kimiawi  dan  luka  akibat mekanis atau  panas.  Mastitis  juga  merupakan  penyakit yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di  seluruh  dunia  dan  secara nyata menurunkan produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997;MCDONALD,2009;RAZA,2009). Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan  oleh  infeksi  cendawan  patogenik (kapang  dan  khamir)  (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et  al.,  2009; CHAHOTA et  al., 2001). Kasus ini biasanya terjadi  akibat
pengobatan  antibiotika  yang  tidak  terkontrol dan lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor.
       Meskipun mastitis mikotik prevalensinyakecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 –3% dari keseluruhan kasus mastitis.     Kasus     mastitik     mikotik     harus diwaspadai  karena  umumnya  bersifat  subkinis dan     kronis.     Mastitis     pada     sapi     perah mengakibatkan   kerugian   yang   besar   dalam produksi  susu,  kualitas  dan  komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC,  2009; THOMPSON et  al., 1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995). Cendawan    patogen    sebagai    penyebab penyakit  sering  dilupakan  bila  terjadi  kasus mastitis. 
       Umumnya  pengobatan      hanya diberikan    antibiotika    yang    efektif    untuk membunuh  bakteri  penyebab  radang  ambing tersebut,  sehingga  pengobatan  mastitis  tidak tuntas     bila     penyebab     utamanya     karena cendawan    belum    dimusnahkan.    Meskipun kasus-kasus  mastitis  mikotik  banyak  terdapat di  berbagai  belahan  dunia  seperti di  Inggris yang  merupakan  masalah  no.  3  terbesar  pada sapi perah  yang  cukup  sulit pengendaliannya (AINSWORTH dan AUSTWICK, 1959; UNIVERSITAS READING,  2009), namun    di Indonesia      sangat      jarang      dipublikasikan (HASTIONOet    al.,    1983;NATALI  dan HASTIONO,  1985; SUDARWANTO,  1987).
       Hasil Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011404 penelitian HASTIONO et al. (1983), dari 25 ekor sapi  perah  dan  yang  22  ekor  bergejala  klinis, diperoleh   100   sampel   air   susu   dengan  20
sampel      positif      mengandung      cendawan. Selanjutnya SUDARWANTO (1987)     pada peternakan  rakyat  menemukan  kasus  mastitis mikotik  pada  sapi  perah  di  Bogor,  Sukabumi dan  Cianjur.  Dari  161  ekor  sapi  perah  dengan 65%    menunjukkan    gejala    klinis    mastitis diperoleh  344  sampel  air  susu  dengan  33,7% positif    ditemukan    cendawan    (kapang    dan khamir). Dua   puluh   tiga   tahun   kemudian AHMAD dan GHOLIB (2011)  melaporkan  dari 40   ekor sapi   perah   dengan   2   ekor   yang bergejala  klinis  diperoleh  160  sampel  air  susu dengan   60   sampel   mengandung   cendawan. Cendawan    patogen    tersebut dari    3    hasil penelitian  di  atas  umumnya  didominasi  oleh khamir Candida sp.  dan Saccharomyces sp. dengan   prevalensi kasus   pada   tahun   1983, 1987  dan  2010  secara  berurutan:  20;  33,7  dan 37,5%.
       Mengingat  Indonesia  negara  tropis  yanglembab   dan  hangat   maka   cendawan   akan mudah  tumbuh.  Cemaran  cendawan  patogenik dan  toksigenik ditemukan  pada  bahan  pakan, pakan dan lingkungan (AHMAD, 2009). Hal ini memungkinkan dapat  terjadinya  cemaran  di mana-mana,  termasuk  di  kandang  sapi  yang pada akhirnya dapat menginfeksi  ambing  sapi. Kemungkinan pada tahun 2011 ini masih dapat ditemukan   atau   terus   bertambah   jumlahnya karena  umumnya  kasus mastitis  mikotik  ini tergolong    mastitis    subklinis.    Hanya    saja mungkin belum dilaporkan atau dipublikasikan kembali,   kemungkinan   lain   mungkin   tidak terdeteksi   atau   diketahui   oleh   peternak.  
       Di Bogor saja ditemukan kasus mastitis mikotik di Kebon   Pedes   (AHMAD dan GHOLIB,   2011) Tujuan dari  penulisan  ini  untuk  memaparkan pentingnya  mastitis  mikotik,  serta  diharapkan menambah  pengetahuan  tentang  pengendalian mastitis  secara  total  sehingga  pada  akhirnya kasus   mastitis   mikotik   di   Indonesia   dapat ditanggulang